Dalam artikel Prinsip Kepemimpinan Politik Manusia Bugis Kasman Dg. Matutu disebutkan bahwa seorang yang terpilih menjadi pemimpin dituntut untuk memiliki bangunan etika tertentu yang menjadi prasyarat etis yang harus dipenuhi. Setidaknya ada 4 (empat) nilai etik utama bagi seorang pemimpin dalam konstruksi masyarakat Bugis, yaitu (1) niat yang tulus, (2) konsistensi, (3) rasa keadilan, dan (4) azas kepatutan.
Pertama, niat yang tulus. Seorang pemimpin harus berangkat dari niat yang tulus dan hati yang bersih, atau dikenal dengan istilah ati madeceng atau ati macinnong. Secara etis, seorang pemimpin diharapkan untuk menanggalkan semua bias motivasi ketika akan menduduki posisi kepemimpinan dalam masyarakat.
Dalam Lontara Paseng To Riolota, terdapat sebuah pesan yang berbunyi, ”Makkedatopi Arung Bila: eppa tanranna to madeceng kalawing ati. Seuani, passu’i ada na patuju. Maduanna, matuoi ada na sitinaja. Matellunna, duppai ada napasau. Ma’eppana, moloi ada na padapi” (artinya: “Berkata Arung Bila: empat tanda orang yang baik bawaan hatinya. Pertama, mengucapkan kata yang benar. Kedua, menyebutkan kata yang sewajarnya. Ketiga, menjawab dengan kata yang berwibawa. Keempat melaksanakan kata-katanya dan mencapai sasaran”).
Bila seseorang telah memiliki niat yang tulus, maka akan berimplikasi pada prasyarat etis yang kedua, yaitu konsistensi yang ditandai dengan satunya kata dan perbuatan. Masyarakat Bugis memahami betul petuah ”Taro ada taro gau” yang berarti satunya kata dan perbuatan. Pesan ini benar-benar dihayati oleh seorang pemimpin Bugis.
Sebagai contoh, ada riwayat tentang Lamanussa Toakkarangen ketika menjadi Datu Soppeng. Pada masa pemerintahannya, rakyat Soppeng mengalami kelaparan yang timbul karena paceklik sebagai efek dari kemarau panjang yang melanda negeri. Melihat kondisi ini, Datu meneliti apakah ada pejabatnya yangg melakukan tindakan dzalim kepada rakyat? Ternyata tidak ada.
Setelah Datu merenungkan lebih dalam, dia kemudian teringat pernah mengambil sesuatu dari rakyat dan disimpannya sebagai pribadi. Datu menyadai hal tersebut dan mengakui perbuatannya di depan umum dan bersedia mengembalikan barang tersebut. Sebagai hukuman atas tindakannya tersebut, Datu menyembelih kerbau dan dagingnya dibagikan kepada seluruh rakyat.
Nilai etis ketiga adalah rasa keadilan. Ini berarti bahwa seorang pemimpin harus menjaga rasa keadilan masyarakat dengan cara menempatkan sesuatu pada tempatnya. Pepatah Bugis mengatakan, ”Ri pariaja’i ri aja’e, ri parialau’i rialau’e, ri parimaniangngi ri maniangnge, ri parimanorangngi manorangnge. Ri pari ase’i ri ase’e, ri pariawa’i ri awa’e”.
Pesan ini berarti, ”tempatkanlah di barat apa yang memang seharusnya di barat, di timur yang memang seharusnya di timur, di selatan yang memang seharusnya di selatan, di utara yang memang seharusnya di utara. Tempatkanlah di atas apa yang memang seharusnya di atas, di bawah yang memang seharusnya di bawah”.
Nilai etik ini menjadi panduan dalam menegakkan keadilan masyarakat. Salahkanlah siapa yang memang bersalah, siapapun dia. Dan belalah yang benar, meskipun dia bukan siapa-siapa. Hargai yang tua, sayangi yang muda.
Penegakan rasa keadilan akan mendorong munculnya niali etik keempat, azas kepatutan. Para tetua Bugis memesankan, ”Mappasitinaja atau mappasikoa” atau memperhatikan azas kepatutan sesuatu. Sebuah pepatah Bugis mempertegas hal ini, ”Aja’ muangoai onrong, aja’to muacinnai tanre tudangeng. De’tu mulle’i padecengi tana. Ri sappa’po muompo, ri jello’po muakkengau” .
Arti dari pesan ini adalah, ”jangan serakahi posisi, jangan pula terlalu mengingini kedudukan tinggi. Jangan sampai engkau tidak mampu mengurus negeri. Bila dicari, barulah kamu muncul, bila ditunjuk barulah engkau mengiyakan”. Azas kepatutan juga mendasarkan agar seseorang memiliki sikap mawas diri dan atau sadar diri.