SETIAP kali melihat tarian Jawa, saya selalu terkesiap menyaksikan kelembutan dan kesantunan gerak tari. Saya selalu mengagumi pakaian penari berupa kemben dengan bahu terbuka. Bagi saya, pakaian itu lahir dari dialog-dialog kebudayaan antara tradisi Jawa dan Islam. Saya juga mengagumi gerakan tari yang gemulai itu. Amat lembut, namun sesekali menghentak. Saat beberapa waktu lalu menyaksikan tari Bedhaya Ketawang di Surakarta, saya selalu menikmati saat-saat ketika sang penari melirik ke arah penonton.
Pada mulanya, saya memperhatikan gadis yang berkulit putih bersih dan menawan. Namun ketika seorang penari –yang justru tidak begitu cantik—melirik ke arahku, saya langsung berdebar-debar. Sungguh, saya sangat menikmati lirikan-lirikan tersebut. Saya jadi fokus memperhatikannya. Ketika mata saya bertemu dengan mata penari itu, ia tiba-tiba menunduk. Duh…. Saya seolah tersengat listrik. Saya langsung jatuh cinta.
Saya lalu ke balik panggung dan menemui penari itu. Ia menatap saya dengan malu-malu. Suaranya pelan. Kultur Sulawesi saya seakan berontak. Saya ingin berbicara tergesa-gesa. Kalau perlu langsung menyatakan cinta dan ngajak pacaran. Namun menyaksikan wajah yang manis, sorot mata yang lembut namun tajam, tutur kata yang terjaga, serta senyum tertahan, membuat saya kehilangan kata-kata. Ketika gadis itu menyapa dengan pelan, kaki saya gemetaran. Saya takluk pada semua pesona yang dipancarkannya.
Saya memahami bahwa kebudayaan adalah medan pertarungan makna. Dalam hal Jawa, kebudayaan terletak pada tindakan-tindakan bermakna yang lahir dari proses sejarah serta ditransmisikan dari generasi ke generasi. Kebudayaan Jawa dicirikan oleh identitas manusia-manusia Jawa yang lahir melalui interaksi dalam kehidupan sehari-hari (everyday life). Identitas kejawaan adalah sesuatu yang dipilih manusia Jawa kemudian dipahami dalam relasinya dengan manusia lain dalam satu semesta.
Pada hari ketika saya bersua perempuan Jawa itu, saya tiba-tiba mengamini pendapat sastrawan Seno Gumira Adjidarma bahwa identitas seksi perempuan Jawa tidak terletak pada tubuh yang bersih serta pinggul yang aduhai. Keseksian perempuan Jawa justru terletak pada tutur kata yang lembut, mata yang melirik penuh makna, serta gerak-gerik yang menunjukkan prilaku yang priyayi dan terpelajar. Inilah yang disebut kebudayaan.
Namun, sebagai seorang luar Jawa, saya kadang bertanya-tanya. Jika seorang perempuan yang dibesarkan dalam kultur Jawa bertutur dengan demikian lembut dan terjaga, bagaimanakah sikap mereka ketika membahas seksualitas? Apakah mereka akan bersikap malu dan membicarakannya dengan kalimat yang juga terjaga?
Kitab Seks Jawa
Hingga beberapa waktu, saya banyak menanyakan pertanyaan di atas. Namun setelah membaca beberapa bagian dari naskah Serat Centhini, saya harus menyusun ulang semua konsep yang saya bangun tentang Jawa. Saya terkagum-kagum dengan Serat Centhini. Ini adalah kitab seks yang luar biasa dan menunjukkan sejauh mana pengetahuan dan pendalaman tentang seks. Membaca kitab ini, saya jadi mengagumi karya emas bangsa sendiri pada masa silam. Selama ini kita selalu mendewa-dewakan kitab seks dari luar. Padahal di negeri kita sendiri justru terdapat sebuah kitab seks yang tidak saja berisi petunjuk tentang tipe perempuan, pesona seorang perempuan, posisi-posisi hubungan seks, hingga rahasia-rahasia dan misteri hubungan seksual.
Serat Centhini adalah kitab seks yang setara dengan Ars Amatoria (The Art of Love) karya penyair Romawi, Publius Ovidius Naso (43 SM-17 M) atau Kama Sutra karya Vatsyayana dari India. Serat Centhini yang nama rresminya Suluk Tembangraras digubah pada abad ke-19, tepatnya tahun 1815 oleh tiga pujangga Istana Keraton Surakarta. Serat ini terdiri atas 722 tembang (lagu Jawa) yang membahas masalah seks dan seksualitas. Sedemikian masyhurnya kitab seks ini sehingga seorang warga Perancis, Elizabeth D Inandiak, telah menerjemahkannya ke dalam bahasa Perancis.
Lantas, apakah Serat Centhini juga mengiyakan pandangan tentang perempuan Jawa yang pemalu dan tabu membahas seksualitas? Ternyata, kitab ini justru amat blak-blakan ketika membahas seks. Seorang perempuan Jawa justru tidak selamanya pasif dalam masalah seks sebagaimana stereotype terhadap Jawa yang tumbuh di luar. Mereka justru memiliki kebebasan yang sama dalam mengungkapkan pengalaman seksualnya. Padahal, mereka selalu digambarkan pasrah kepada seorang lelaki.
Hal ini tampak dalam Centhini V (Dandanggula). Dalam serat ini diceritakan tentang dialog di ruang belakang rumah pengantin perempuan pada malam menjelang pernikahan antara Syekh Amongraga dan Nike Tembangraras. Para perempuan muda sedang duduk sambil mengobrol. Ada yang membicarakan pengalaman dinikahi lelaki berkali-kali, pengalaman malam pertama, serta masalah seksual lainnya, lalu tertawa cekikikan. Salah satu percakapan itu adalah: “Nyai Tengah menjawab sambil bertanya. Benar dugaanku Ni Daya. Dia memang sangat kesulitan. Napasnya tersengal. Saya batuk saja. Eh, lepas. Mudah sekali lepasnya. Tak pernah kukuh di tempatnya. Susahnya sangat terasa karena meski besar seakan mati…”
Kitab Seks Bugis
TAK hanya kebudayaan jawa yang melahirkan kitab seksual yakni Serat Centhini. Orang-orang Bugis juga membuat catatan-catatan tentang seks yang berjudul Assikalabineng atau Kitab Persetubuhan Bugis. Catatan-catatan itu dibuat dalam lontara’ dan dituliskan dengan aksara khas Bugis. Aksara ini menjadi satu penanda yang mencirikan kemajuan peradaban Bugis. Nenek moyang Bugis –yang terlahir sebagai turunan dewa-dewa-- telah mencipta aksara dan menjadikannya sebagai medium untuk menuliskan buah-buah pikirannya. Tatkala raja-raja Bugis bermunculan, mereka lalu menuliskan segenap pengetahuannya, termasuk pengetahuan tentang seks.
Catatan harian para raja tentang konsep seks tersebut, telah dikumpulkan dan diterbitkan menjadi buku berjudul Assikalabineng. Berbeda dengan Kama Sutra yang lebih mengedepankan pada teknik belaka, Assikalabineng lebih dari hal itu. Assikalabineng adalah kumpulan manuskrip Lontara asli yang dikumpulkan, diterjemahkan, lalu diolah oleh filolog lontara dari Univeritas Hasanuddin (Unhas), Muhlis Hadrawi, menjadi bacaan dan pengetahuan yang siap dipraktikkan. Di bagian awal buku, penulis menyebutkan ada 44 naskah Lontara yang dipakai sebagai rujukan utama. Sebanyak 28 teks beraksara Bugis dan 16 sisanya manuskrip lontara Makassar. "Aksaranya macam-macam, ada sulapa eppa, serang, dan jangang-jangang." Tak mengherankan, tips, trik, sekaligus mantra yang disajikan pun bervariasi, namun pada intinya sama, dan menyesuaikan dengan kultur Bugis pesisir atau Makassar pedalaman.
Assikabineng berisikan pengetahuan yang mendalam tentang organ genital dan alat reproduksi, filosofi seks, teknik penetrasi, sentuhan bagian sensitif, penentuan jenis kelamin, pengendalian kehamilan, serta waktu baik untuk berhubungan intim, juga terangkum di dalamnya. Tak hanya itu, juga terdapat pengetahuan cara membuat tubuh istri tetap seksi dan berwajah cerah dengan menggunakan medium seks. Pengobatan alat kelamin pun dibahas dengan indah.
Lalu yang tak kalah menakjubkan dari kitab ini yakni betapa orang Bugis, terutama yang menguasai kitab ini, memahami dengan benar jenis-jenis organ genital wanita. Cara mengungkapkannya pun sangat simbolik dengan mengasosiasikannya dengan bunga yang cenderung mekar. Pada jenis tertentu ada yang disebut dengan bunga melati atau bunga sibollo.
Membaca kitab ini telah membersitkan kesan pada diri saya bahwa seks bukan sekedar ritual penetrasi biologis demi menciptakan generasi. Seks mengandung makna filosofis yang bisa ditemukan melalui telaah atas makna-makna dalam ritual tersebut.
Kitab ini dituliskan pada masa ketika Islam masuk di jazirah Sulawesi. Sehingga bisa ditarik kesimpulan bahwa Islam mengalami dialog cultural dengan tradisi Bugis. Di dalamnya juga terdapat interpretasi ajaran islam yang diperkaya dengan pengetahuan local. Islam tidak lantas menenggelamkan pengetahuan Bugis, namun terus memperkaya maknanya dan menjadi ruh yang menjadi intisari kebudayaan bugis. Makanya, assikalabineng jangan dilihat sebagai kitab petunjuk cara berhubungan seks sebagaimana Kama Sutra. Tak hanya berisi petunjuk melakukan hubungan seks, assikalabineng adalah filsafat untuk berhubungan seks, kemudian menyiapkan generasi terbaik. Bagi orang Bugis, seks adalah filsafat.
Butiran-Butiran Hikmah
Memang, tulisan ini terlampau singkat untuk membahas khasanah kebudayaan yang kaya. Tapi setidaknya, tulisan ini menjadi awal untuk memasuki tema yang luas tersebut. Dari berbagai turuan di atas, terselip beberapa butiran hikmah yang menarik untuk didiskusikan. Pertama, baik Serat Centhini maupun Assikalabineng merupakan khasanah kekayaan budaya yang dimiliki negeri ini. Keduanya adalah mutiara yang diwariskan generasi masa silam kepada generasi masa kini. Kedua kitab itu menyimpan butiran pengetahuan berharga yang masih bisa diterapkan pada konteks kekinian. Kitab itu juga menjadi isyarat bahwa seks bukan hanya daya-daya pelepas syahwat, namun seks adalah ibadah yang penting untuk menjaga kelangsungan hidup manusia. Seksualitas bukanlah hal yang tabu dibahas pada masa silam. Tapi seksualitas adalah ibadah yang mengawali proses penciptaan manusia sehingga harus dipersiapkan dengan sebaik-baiknya.
Kedua, seksusalitas memang bukan sekedar hubungan yang sifatnya biologis. Seksualitas adalah bagian dari kebudayaan yang merupakan himpunan konsep dan pola-pola yang membentuk cara pandang serta penilaian kita atas sesuatu. Ketika saya menilai seseorang cantik, maka saat itu kebudayaan sedang bekerja. Cantik adalah sebuah konsep yang jelas-jelas dipengaruhi kebudayaan. Defenisi cantik sebagaimana yang saya yakini, tentunya berbeda dengan defenisi cantik menurut orang Afrika yang lebih memperhatikan tubuh yang gemuk. Setiap ragam budaya menciptakan defenisinya sendiri-sendiri tentang makna kecantikan. Demikian pula dengan makna seksualitas.
Ketiga, pengetahuan tentang seks adalah pengetahuan yang sifatnya menyejarah. Pada beberapa kebudayaan, termasuk kebudayaan Jawa dan Bugis, seks adalah ritual suci yang dilihat sebagai ibadah. Dalam khasanah kebudayaan Jawa dan Bugis, seks adalah fiosofi tentang penciptaan generasi serta menjadi elemen penting yang kian menegaskan jati diri manusia sebagai mahluk yang selalu bergerak menggapai kesempurnaan. Dan seks adalah bagian dari gerak menuju kesempurnaan tersebut.(*)