Fatwa Syeikh
Abul Hasan Asy Syadzili
MATA
HATI
Apabila engkau
ingin melihat Allah dengan matahati keimanan dan keyakinan sepanjang waktu, maka
engkau harus senantiasa syukur terhadap nikmat-nikmat Allah dan ridha terhadap
ketentuan-ketentuan-Nya.
"Dan nikmat
apa saja yang datang kepadamu, maka dari llah-lah(datangnya), dan bila kamu
ditimpa kemudharatan, maka hanya kepada-Nya-lah kamu memohon pertolongan."(QS.
An-Nahl: 53)
Apabila engkau
inginkan suatu pergantian yang jauh dan dirimu atau darimu, maka sembahlah Allah
atas dasar kecintaan, bukan atas dasar perniagaan (ingin balasan pahala atau
takut neraka), juga atas dasar ma 'rifat melalui pengagungan dan mawas
diri.
Bashirah
(matahati) itu seperti mata indera, manakala ada sesuatu yang jatuh pada mata
itu, akan terganggu pandangannya walaupun tidak sampai membutakan. Suatu bisikan
buruk bisa mengaburkan pandangan hati dan mengotori pikiran. Sementara keinginan
pada keburukan itu akan menghapus kebajikan Manakala seseorang melakukan
tindakan seperti itu, pemiliknya akan kehilangan andil dalam Islam yang
dimilikinya karena hasrat mendatangkan kontranya.
Apabila
keburukan itu terus menerus menetap andil Islamnya akan runtuh satu persatu.
Apabila kenyataan demikian menimpa para imam agama dan para pemimpin dhalim,
mereka akan sangat mencintai dunia dan kedudukan duniawi, disbanding akhirat.
pada saat demikian itu, hilanglah seluruh ke-lslamannya.
Karena itulah
engkau jangan tertipu oleh indikasi yang bersifat lahiriah. Sebab indikator
seperti itu tidak memiliki ruh. Sedangkan Ruhul Islam adalah mencintai Allah dan
Rasulnya, serta mencintai akhirat, dan mencintai hamba-hamba-Nya yang saleh.
Pusat segala sesuatu dalam sifat-sifat adalah terpusatnya ketika wujudnya belum
ada. Lalu lihatlah, apakah engkau melihat mata, di mana? Atau engkau melihat
jagad ini ada, bahkan apakah engkau melihat suatu perkara itu cacat? begitu pula
setelah semua itu ada.
Kebutaan
matahati itu dalam tiga hal:
Pertama,
mengarahkan fisik ini pada perbuatan maksiat kepada Allah.
Kedua,
bermain-main dalam ketaatan kepada Allah, dan
Ketiga, tamak
terhadap makhiuk Allah. Siapa saja yang mengaku memiliki matahati, sementara ada
satu unsur dari ketiga unsur tersebut dalam dirinya, maka hatinya dihadapkan
pada asumsi-asurnsi hawa nafsu dan waswas syetan. (Sulthanul Auliya 'Syeikh Abul
Hasan Asy-Syadzili)
Janganlah
membuatmu ragu pada janji Allah, ketika doa yang dijanjikan ijabahnya oleh Allah
itu tidak kunjung tiba, walaupun, sangat jelas bahwa engkau yakin tibanya janji
itu pada saat yang ditentukan. Hal demikian, agar engkau tidak melukai
matahatimu dan meredupkan cahaya rahasia batinmu.
Mengukuhkan
Adanya Tasawuf
Keterangan
Tentang Kebenaran dan Argumentasinya Syekh Abu Nashr as-Sarraj' - rahimahullah -
berkata: “Ada sekelompok orang yang hanya memahami segala sesuatu secara
lahiriah telah mengingkari adanya ilmu batin (tasawuf). Mereka berkata, ‘Kami
tak tahu ilmu lain selain ilmu syariat yang zhahir yang dibawa oleh al-Qur'an
dan Sunnah’. "
Mereka juga
berkata, "Pendapat Anda yang menyatakan adanya ilmu batin dan ilmu tasawuf tak
memiliki bobot makna apa-apa."
Maka kami
perlu menjawabnya - semoga Allah memberi taufik pada kita
Sesungguhnya
ilmu syariat adalah suatu disiplin ilmu dan suatu nama yang mengandung dua
makna: riwayat (narasi) dan dirayat (pemahaman). Jika Anda telah mengumpulkan
dua makna tersebut, maka itu adalah ilmu syariat yang mengajak pada berbagai
amal, baik lahiriah maupun batiniah. Dan memang tidak sepantasnya jika kita
berbicara tentang ilmu untuk dibeda-bedakan menjadi ilmu batin dan ilmu zhahir.
Sebab apabila ilmu itu berada dalam hati nurani, berarti ilmu batin sampai ia
muncul dalam ucapan. Dan jika telah muncul dalam bahasa lisan maka itulah ilmu
zhahir.
Hanya saja
kami tetap perlu mengatakan, bahwa ilmu itu ada yang batin dan ada yang zhahir.
Ilmu itu tak lain adalah ilmu syariat yang menunjukkan dan mengajak untuk
melakukan aktivitas (amal) lahiriah dan batiniah. Sedangkan apa yang disebut
dengan amal zhahir adalah aktivitas anggota tubuh yang menyangkut ibadah dan
hukum.
Adapun yang
menyangkut ibadah adalah seperti masalah bersuci, shalat, zakat, puasa, haji,
jihad dan lain-lain.
Adapun yang
menyangkut hukum adalah seperti hudud (hukum pidana), talak, pemerdekaan budak,
jual beli, fara'idh (warisan), qishas (hukum pembalasan) dan lain lain. Ini
semua berkaitan dengan anggota badan bagian luar.
Adapun yang
berhubungan dengan aktivitas batiniah adalah seperti perbuatan hati, yang berupa
kedudukan dan kondisi spiritual, seperti tashdiq (pembenaran), iman, yakin,
jujur, ikhlas, ma'rifat, tawakal, mahabbah (cinta), ridha, dzikir, syukur,
inabah (kembali kejalan Allah: tobat), khasyyah (takut), takwa, muraqabah
(menjaga hati nurani), fikrah, i'tibar (mengambil pelajaran), khauf (takut
siksa), raja' (berharap rahmat Nya), sabar, qana'ah (puas atas bagian yang
diberikan), taslim (tunduk), tafwidh (pasrah), qurb (mendekatkan diri kepada
Allah), syauq (rindu), wajd (suka cita dengan Allah), wajal (takut), huzn
(sedih), nadm (menyesal), haya' (malu), khajal (malu), ta'zhim (mengagungkan),
ijlal (memuliakan) dan haibah (sungkan karena kewibawaan
Nya).
Masing masing
aktivitas, baik yang bersifat lahir maupun batin ada ilmu, keterangan, fiqih,
pemahaman, perasaan hati dan hakikatnya tersendiri.
Sementara itu,
masalah kebenaran amal lahiriah maupun batiniah selalu didukung oleh argumentasi
ayat ayat al-Qur'an dan Hadis-hadis Rasulullah saw. yang hanya bisa diketahui
oleh orang yang mengerti dan tidak akan terungkap oleh mereka yang tidak
tahu.
Apabila kami
mengatakan tentang ilmu batin, maka yang kami maksudkan adalah ilmu tentang
aktivitas batin yang merupakan anggota badan yang batin, yakni
hati.
Sebagaimana
jika kami katakan ilmu zhahir, maka yang kami maksudkan adalah ilmu tentang
aktivitas zhahir yang menyangkut semua anggota yang lahir, yaitu seluruh anggota
badan.
Allah swt.
berfirman, "... dan Dia menyempurnakan untukmu nikmat Nya lahir dan batin."
(Q.s. Luqman: 20). Nikmat lahiriah ialah apa yang Allah karuniakan pada anggota
badan yang lahir untuk berbuat taat. Sedangkan nikmat batin adalah berbagai
kondisi spiritual yang Allah karuniakan pada hati.
Dan tentu saja
yang zhahir tidak bisa lepas dari yang batin, dan begitu sebaliknya, yang batin
juga selalu membutuhkan yang zhahir.
Allah swt.
berfirman: "Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara
mereka, tentulah orang orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat)
mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri)." (Q.s. an-Nisa':
83).
Sedangkan ilmu
yang diperoleh dengan cara istinbath adalah ilmu batin, yaitu ilmu yang dimiliki
orang-orang Sufi. Sebab mereka memiliki berbagai hasil istinbath dari al-Qur'an,
Hadis dan lain lain. - Sebagian dari masalah ini akan kami bahas kemudian, Insya
Allah.
Dengan
demikian, maka ilmu itu ada ilmu zhahir dan ilmu batin. Al Qur'an adalah zhahir
dan batin, Hadis Rasulullah saw. juga zhahir dan batin. Begitu pula Islam,
zhahir dan batin.
Sementara itu
sahabat sahabat kami dari kaum Sufi dalam memahami makna makna tersebut juga
memiliki dalil dalil dan argumentasi dari al-Qur'an, Sunnah dan akal (rasional).
Dan untuk menerangkan hal ini akan sangat panjang dan akan keluar dari uraian
ringkas yang kami maksudkan. Maka apa yang kami kemukakan bisa dianggap cukup -
Dan semoga Allah memberi taufik kepada kita.
Kedudukan Para
Wali
Rasulullah
Saw. bersabda, “Sesungguhnya dari kalangan para hamba Allah ada segolongan orang
yang bukan nabi dan bukan pula syuhada, namun para nabi dan para syuhada’
berebut dengan mereka dalam kedudukan terhadap Allah.”
Orang pun
bertanya, “Wahai Rasulullah, ceritakan kepada kami siapa mereka itu dan apa amal
perbuatan mereka. Sebab kami senang kepada mereka karena yang demikian
itu.”
Nabi menjawab,
“Mereka adalah kaum yang saling mencintai karena Allah, dengan Ruh Allah, tidak
atas dasar pertalian keluarga antara sesama mereka dan tidak pula karena harta
yang mereka saling beri. Demi Allah, wajah mereka adalah cahaya terang, dan
mereka berada di atas cahaya terang. Mereka tidak merasa takut ketika semua
orang merasa takut, dan mereka tidak merasa kuatir ketika semua orang merasa
kuatir.” Dan beliau membaca ayat ini: Ketahuilah, sesungguhnya para wali Allah
itu tiada rasa takut pada mereka dan tidak pula mereka merasa kuatir.(Kitab Fath
al-Bari, Syarh Sahih al-Bukhari)
Definisi
Tasawuf
Dalam sejarah
perkembangannya, Sufi dan Tasawuf beriringan. Beberapa sumber dari para Ulama
Sufi, para orientalis maupun dari kitab-kitab yang berkait dengan sejarah
Tasawuf memunculkan berbagai definisi. Definisi ini pun juga berkait dengan para
tokoh Sufi setiap zaman, disamping pertumbuhan akademi Islam ketika itu. Namun
Reinold Nicholson, salah satu guru para orientalis, membuat telaah yang terlalu
empirik dan sosiologik mengenai Tasawuf atau Sufi ini, sehingga definisinya
menjadi sangat historik, dan terkebak oleh paradigma akademik-filosufis.
Pandangan Nicolson tentu diikuti oleh para orientalis berikutnya yang mencoba
mentyibak khazanah esoterisme dalam dunia Islam, seperti J Arbery, atau pun
Louis Massignon. Walaupun sejumlah penelityian mereka harus diakui cukupo
berharga untuk menyibak sisi lain yang selama ini
terpendam.
Bahwa dalam
sejarah perkembangannya menurut Nicholson, tasawuf adalah sebagai bentuk
ekstrimitas dari aktivitas keagamaan di masa dinasti Umawy, sehingga para
aktivisnya melakukan ‘Uzlah dan semata hanya demi Allah saja hidupnya. Bahkan
lebih radikal lagi Tasawuf muncul akibat dari sinkretisme Kristen, Hindu, Budha
dan Neo-Platonisme serta Hellenisme. Penelitian filosufis ini, tentu sangat
menjebak, karena fakta-fakta spiritual pada dasarnya memiliki keutuhan otentik
sejak zaman Rasulullah Muhammad saw, baik secara tekstual maupun
historis.
Dalam kajian
soal Sanad Thariqat, pada Bab II bagian 3, bisa terlihat bagaimana validitas
Tasawuf secara praktis, hingga sampai pada alurnya Tasawuf rasulullah saw. Fakta
itulah yang nantinya bisa membuka cakrawala historis, dan kelak juga berpengaruh
munculnya berbagai ordo Thariqat yang kemudian terbagi menjadi Thasriqat
Mu’tabarah dan Ghairu Mu’tabarah.
Pandangan
paling monumental tentang Tasawuf justru muncul dari Abul Qasim Al-Qusyairy
an-Naisabury, seorang Ulama sufi abad ke 4 hijriyah. Al-Qusyairy sebenarnya
lebih menyimpulkan dari seluruh pandangan Ulama Sufi sebelumnya, sekaligus
menepis bahwa definisi Tasawuf atau Sufi muncul melalui akar-akar historis, akar
bahasa, akar intelektual dan filsafat di luar dunia Islam. Walaupun tidak secara
transparan Al-Qusyairy menyebutkan definisinya, tetapi dengan mengangkat
sejumlah wacana para tokoh Sufi, menunjukkan betapa Sufi dan Tasawuf tidak bisa
dikaitkan dengan sejumlah etimologi maupun sebuah tradisi yang nantinya kembali
pada akar Sufi.
Dalam
penyusunan buku Ar-Risalatul Qusyairiyah misalnya, ia menegaskan bahwa apa yang
ditulis dalam Erisalah tersebut untuk menunjukkan kepada mereka yang salah paham
terhadap Tasawuf, semata karena kebodohannya terhadap hakikat Tasawuf itu
sendiri. Menurutnya Tasawuf merupakan bentuk amaliyah, ruh, rasa dan pekerti
dalam Islam itu sendiri. Ruhnya adalah friman Allah swt.:
“Dan jiwa serta penyempurnaannya, maka Allah
mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya
beruntunglkah orang yang menyucikan jiwa itu dan sesungguhnya merugilah
orang-orang yang mengotorinya.,” (Q.s. Asy-Syams: 7-8)
”Sesungguhnya
beruntunglah orang-orang yang membersihkan diri dan dia berdzikir nama Tuhannya
lalu dia shalat.” (Q.s. Al-A’laa: 14-15)
“ Dan ingatlah Tuhanmu dalam hatimu dengan
merendahkan diri dan rasa takut, dan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan
petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang alpa.” (Q.s. Al-A’raaf:
205)
“Dan bertqawalah kepada Allah; dan Allah
mengajarimu (memberi ilmu); dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (Q.s.
Al-Baqarah : 282)
Sabda Nabi
saw:
“Ihsan adalah hendaknya negkau menyembah Allah
seakan-akan engkau melihat-Nya, maka apabila engkau tidak melihatNya,
sesungguhnya Dia melihatmu” (H.r. Muslim, Tirmidzi, Abu Dawud dan
Nasa’i)
Tasawuf pada
prinsipnya bukanlahg tambahan terhadap Al-Qur’an dan hadits, justru Tasawuf
adalah impklementasi dari sebuah kerangka agung Islam.
Secara lebih
rinci, Al-Qusyairy meyebutkan beberapa definisi dari para Sufi
besar:
Muhammad
al-Jurairy:
“Tasawuf
berarti memasuki setiap akhlak yang mulia dan keluar dari setiap akhlak yang
tercela.”
Al-Junaid
al-Baghdady:
“Tasawuf
artinya Allah mematikan dirimu dari dirimu, dan menghidupkan dirimu bersama
denganNya.”
“Tasawuf adalah engkau berada semata-mata
bersama Allah swt. Tanpa keterikatan dengan apa pun.”
“Tasawuf adalah perang tanpa
kompromi.”
“Tasawuf adalah anggota dari satu keluarga
yang tidak bisa dimasuki oleh orang-orang selain mereka.”
“Tasawuf adalah dzikir bersama, ekstase yang
diserta sama’, dan tindakan yang didasari Sunnah Nabi.”
“Kaum Sufi seperti bumi, yang diinjak oleh
orang saleh maupun pendosa; juga seperti mendung, yang memayungi segala yang
ada; seperti air hujan, mengairi segala sesuatu.”
“ Jika engkau melihat Sufi menaruh kepedulian kepada
penampilan lahiriyahnya, maka ketahuilah bahwa wujud batinnya
rusak.”
Al-Husain bin
Manshur al-Hallaj: “Sufi adalah kesendirianku dengan Dzat, tak seorang pun
menerimanya dan juga tidak menerima siapa pun.”
Abu Hamzah
Al-Baghdady:
“Tanda
Sufi yang benar adalah dia menjadi miskin setelah kaya, hina setelah mulia,
bersembunyi setelah terkenal. Sedang tanda Sufi yang palsu adalah dia menjadi
kaya setelah miskin, menjadi obyek penghormatan tertinggi setelah mengalami
kehinaan, menjadi masyhur setelah tersem,bunyi.”
Amr bin Utsman
Al-Makky:“Tasawuf adalah si hamba berbuat sesuai dengan apa yang paling baik
saat itu.”
Mohammad bin
Ali al-Qashshab:“Tasawuf adalah akhlak mulia, dari orang yang mulia di
tengah-tengah kaum yang mulia.”
Samnun:“Tasawuf
berarti engkau tidak memiliki apa pun, tidak pula dimiliki
apapun.”
Ruwaim bin
Ahmad:“Tasawuf artinya menyerahkan diri kepada Allah dalam setiap keadaan apa
pun yang dikehendakiNya.”
“Tasawuf didasarkan pada tiga sifat: memeluk
kemiskinan dan kefakiran, mencapai sifat hakikat dengan memberi, dengan
mendahulukan kepentingan orang lain atas kepentingan diri sendiri dan
meninggalkan sikap kontra, dan memilih.”
Ma’ruf
Al-Karkhy: “Tasawuf artinya, memihak pada hakikat-hakikat dan memutuskan harapan
dari semua yang ada pada makhluk”.
Hamdun
al-Qashshsar:
“Bersahabatlah dengan para Sufi, karena mereka melihat dengan alasan-alasan
untuk mermaafkan perbuatan-perbuatan yang tak baik, dan bagi mereka
perbuatan-perbuatan baik pun bukan suatu yang besar, bahklan mereka bukan
menganggapmu besar karena mengerjakan kebaikan itu.”
Al-Kharraz:
“Mereka adalah kelompok manusia yang mengalami kelapangan jiwa yang mencampakkan
segala milik mereka sampai mereka kehilangan segala-galanya. Mereka diseru oleh
rahasia-rahasia yang lebih dekat dio hatinya, ingatlah, menangislah kalian
karena kami.”
Sahl
bin Abdullah: “Sufi adalah orang yang memandang darah dan hartanya tumpah secara
gratis.”
Ahmad
an-Nuury: “Tanda orang Sufi adalah ia rela manakala manakala tidak punya, dan
peduli orang lauin ketika ada.”
Muhammad bin
Ali Kattany: “Tasawuf adalah akhlak yang baik, barangsiapa yang melebihimu dalam
akhlak yang baik, berarti ia melebihimu dalam Tasawuf.”
Ahmad bin
Muhammad ar-Rudzbary: “Tasawuf adalah tinggal di pintu Sang Kekasih, sekali pun
engklau diusir.” “Tasawuf adalah Sucinya
Taqarrub, setelah kotornya berjauhan denganya.”
Abu Bakr
asy-Syibly:
“Tasawuf
adalah duduk bersama Allah swt. tanpa hasrat.”
“Sufi terpisah
dari manusia, dan bersambung dengan Allah swt. sebagaimana difirmankan Allah
swt, kepada Musa, “Dan Aku telagh memilihmu untuk DiriKu” (Thoha: 41) dan
memiusahkannya dari yang lain. Kemudian Allah swt. berfirman kepadanya, “Engkau
takl akan bisa melihatKu.”
“Para Sufi adalah anak-anak di pangkuan Tuhan
Yang Haq.”
“Tasawuf adalah kilat yang menyala, dan
Tasawuf terlindung dari memandang makhluk.”
“Sufi disebut Sufi karena adanya sesuatu yang
membekas pada jiwa mereka. Jika bukan demikian halnya, niscaya tidak akan ada
nama yang dilekatkan pada mereka.”
Al-Jurairy:
“Tasawuf berarti kesadaran atas keadaaan diri sendiri dan berpegang pada
adab.”
Al-Muzayyin:
“Tasawuf adalah kepasrahan kepada Al-Haq.”
Askar
an-Nakhsyaby: “Orang Sufi tidaklah dikotori suatu apa pun, tetapi menyucikan
segalanya.”
Dzun Nuun
Al-Mishry: “Kaum Sufi adalah mereka yang mengutamakan Allah swt. diatas
segala-galanya dan yang diutamakan oleh Allah di atas segala makhluk yang
ada.”
Muhammad
al-Wasithy: “Mula-mula para Sufi diberi isyarat, kemudian menjadi
gerakan-gerakan, dan sekarang tak ada sesuatu pun yang tinggal selain
kesedihan.”
Abu Nashr
as-Sarraj ath-Thusy: “Aku bertanya kepada Ali al-Hushry, siapakah, yang
menurutmu Sufi itu? ” Lalu ia menjaqwab, “Yang tidak di bawa bumi dan tidak
dinaungi langit.” Dengan ucapannya menurut saya, ia merujuk kepada
keleburan.”
Ahmad ibnul
Jalla’: “Kita tidak mengenal mereka melalui prasyarat ilmiyah, namun kita tahu
bahwa mereka adalah orang-orang yang miskin, sama sekali rtidak memiliki
sarana-sarana duniawy. Mereka bersama Allah swt. tanpa terikat pada suatu tempat
tetapi Allah swt, tidak menghalanginya dari mengenal semua tempat. Karenanya
diosebut Sufi.”
Abu Ya’qub
al-Madzabily: “Tasawuf adalah keadaan dimana semua atribut kemanusiaan
terhapus.”
Abul Hasan
as-Sirwany: “Sufi yang bersama ilham, bukan dengan wirid yang
mehyertainya.”
Abu Ali
Ad-Daqqaq: “Yang rtevbaik untuk diucapkan tentang masalah ini adalah, “Inilah
jalan yang tidak cocok kecuali bagi kaum yang jiwanya telah digunakan Allah swt,
untuk menyapu kotoran binatang.”
“Seandainya
sang fakir tak punya apa-apa lagi kecuali hanya ruhnya, dan ruhnya ditawarkannya
pada anjing-anjing di pintu ini, niscaya tak seekor pun yang menaruh perhatian
padanya.”
Abu Sahl
ash-Sha’luki: “Tasawuf adalah berpaling dari sikap menentang ketetapan
Allah.”
Dari seluruh
pandangan para Sufi itulah akhirnya Al-Qusayiry menyimpulkan bahwa Sufi dan
Tasawuf memiliki terminologi tersendiri, sama sekali tidak berawal dari
etimologi, karena standar gramatika Arab untuk akar kata tersebut gagal
membuktikannya.
Alhasil, dari
seluruh definisi itu, semuanya membuktikan adanya adab hubungan antara hamba
dengan Allah swt, dan hubungan antara hamba dengan sesamanya. Dengan kata lain,
Tasawuf merupakan wujud cinta seorang hamba kepada Allah dan RasulNya, pengakuan
diri akan haknya sebagai hama dan haknya terhadap sesama di dalam amal
kehidupan.
Terminologi
Tasawuf
Di dalam dunia
Tasawuf muncul sejumlah istilah-istilah yang sangat populer, dan menjadi
terminologi tersendiri dalam disiplin pengetahuan. Dari istilah-istilah tersebut
sebenarnya merupakan sarana untuk memudahkan para pemeluk dunia Sufi untuk
memahami lebih dalam. Istilah-istilah dalam dunia Sufi, semuanya didasarkan pada
Al-Qur’an dan Hadist Nabi. Karena dibutuhkan sejumlah ensiklopedia Tasawuf untuk
memahami sejumlah terminologinya, sebagaimana di bawah ini,
yaitu:
Ma’rifatullah,
Al-Waqt, Maqam, Haal, Qabdh dan Basth, Haibah dan Uns, Tawajud – Wajd – Wujud,
Jam’ dan Farq, Fana’ dan Baqa’, Ghaibah dan Hudhur, Shahw dan Sukr, Dzauq dan
Syurb, Mahw dan Itsbat, Sitr dan Tajalli, Muhadharah, Mukasyafah dan Musyahadah,
Lawaih, Lawami’ dan Thawali’, Buwadah dan Hujum, Talwin dan Tamkin, Qurb dan
Bu’d, Syari’at dan Hakikat, Nafas, Al-Khawathir, Ilmul Yaqin, Ainul Yaqin dan
Haqqul Yaqin, Warid, Syahid, Nafsu, Ruh, Sirr, dan yang
lainnya.
Kemudian
istilah-istilah yang masuk kategori Maqomat (tahapan) dalam Tasawuf, antara
lain:
Taubat,
Mujahadah, Khalwat, Uzlah, Taqwa, Wara’, Zuhud, Diam, Khauf, Raja’, Huzn, Lapar
dan Meninggalkan Syahwat, Khusyu’ dan Tawadhu’, Jihadun Nafs, Dengki,
Pergunjingan, Qana’ah, Tawakkal, Syukur, Yakin, Sabar, Muraqabah, Ridha,
Ubudiyah, Istiqamah, Ikhlas, Kejujuran, Malu, Kebebasan, Dzikir, Futuwwah,
Firasat, Akhlaq, Kedermawaan, Ghirah, Kewalian, Doa, Kefakiran, Tasawuf, Adab,
Persahabatn, Tauhid, Keluar dari Dunia, Cinta, Rindu, Mursyid, Sama’, Murid,
Murad, Karomah, Mimpi, Thareqat, Hakikat, Salik, Abid, Arif, dan
seterusnya.
Seluruh
istilah tersebut biasanya menjadi tema-tema dalam kitab-kitab Tasawuf, karena
perilaku para Sufi tidak lepas dari substansi dibalik istilah-sitilah itu semua,
dan nantinya di balik istilah tersebut selain bermuatan substansi, juga
mengandung “rambu-rambu” jalan ruhani itu sendiri.